Friday 14 April 2017

Sabtu ke Sekian

Sumber: Google

Ada banyak tulisan lama di laptop. Yang satu ini sudah cukup lama terpendam di dasar folder paling dalam. Lumayan sudah berdebu, namun masih bisa disingkirkan butiran-butirannya, haha apa sih. Beberapa dari nama-nama di bawah ini sudah dimutasi dari kota Parepare :')

Parepare, 27 Agustus 2016

Hari ini, Sabtu, yang ke sekian kalinya aku berada di kota kecil pinggir pantai ini, Parepare. Sebuah kota yang samasekali tidak pernah ada di benakku untuk kutinggali. Parepare, sebuah kota kecil dengan keramaian yang cukup ramai bahkan ketika sudah larut malam. Ya, aku beberapa kali pulang larut malam, makanya aku tahu keadaan kota ini di waktu-waktu pukul 11 – 12 malam.

Jauh dari orang tua menjadikanku anak nakal yang suka keluar malam? Tidak, bukan begitu. Aku tidak suka keluar malam, hanya saja, kami tidak punya waktu lain untuk mengobrol santai bersama kecuali malam hari. Oh, bukan juga, sih, alasan. Hanya saja mengobrol di malam hari lebih terasa nyaman karena benar-benar tidak ada aktivitas lain yang menunggu kami. Di pagi atau siang hari, pasti ada saja yang harus dilakukan. Entah itu mencuci pakaian, membersihkan rumah, atau mungkin hanya sekadar santai sejenak di atas kasur. Itulah mengapa kami lebih sering meluangkan waktu mengobrol di malam hari. Oke, mungkin aku sedang mencari pembenaran, yang artinya aku tahu ini tidak benar.

Sejak tadi aku menyebut kami. Mari kuperkenalkan siapa saja 'kami'.

Yang pertama adalah seorang pribumi Sulawesi, tepatnya Takalar, dia adalah Kak Ratih, yang beruntung mendapat penempatan kerja di tempat ia bisa kembali meneruskan kuliahnya di Makassar, yang sempat tertunda karena ia harus menjalani pendidikan prajabatan. Perempuan yang satu ini hobi olahraga. Dalam seminggu pasti ia meluangkan waktunya untuk aktivitas itu, entah itu main bulu tangkis di lapangan di kantor atau sekadar mengitari lapangan Andi Makkasau.

Ada lagi perempuan asli Parepare, namanya Hajar, yang rumahnya terletak tidak sampai satu kilometer dari kantor. What the... beruntung sekali dia. Si perempuan ini semacam partner in crime-nya Kak Ratih. Mereka sama-sama boyish. Tapi si perempuan Pare ini boyish-nya boyish-boyish manja. Suasana ngumpul selalu ramai kalau sama dia. Ada saja komentar konyolnya yang disambut gelak tawa dari kami semua.

Sudah dua perempuan, sekarang kita beralih ke laki-laki, aku sering panggil dia Mas Firman. Laki-laki ini sekampung dengan Kak Ratih, di Takalar. Dia juga satu kampus dengan dengan Hajar, tapi beda angkatan, dia lebih senior. Laki-laki berbehel ini sedang melanjutkan studi D4 di Makassar. Alhasil, setiap Sabtu dan Minggu kau tidak akan mendapatinya tinggal di Parepare karena di hari-hari itu dia harus masuk kuliah. (Omaygad, sabtu minggu aja masih harus belajar)

Bersama dengan Mas Firman, ada dua orang laki-laki lagi yang sedang melanjutkan studi. Mereka adalah Mas Fuad dan Mas Dedy. Mereka tinggal satu kosan di salah satu gang di jalan H. Agus Salim, jalan ini bersebelahan dengan jalan Bau Massepe yang berisi berbagai macam toko dan rumah makan. Di jalan ini pula aku pertama kali makan siang di Parepare. Fokus, Da, fokus. Lu tadi lagi ngomongin Mas Fuad dan Mas Dedy. Baiklah, kembali kepada mereka. Yang pertama ada Mas Fuad. Mas Fuad ini asalnya dari Jepara, kota pinggir pantai di pulau Jawa sana. Tapi menurutku, itu bohong. Mana ada anak pantai kulitnya terang melebihi kami para perempuan. Huft.

Bicara soal warna kulit, ada yang kemarin ngeluh kulitnya menghitam gara-gara terlalu lama mantai (read: main dipantai, akronim macam apa ini) di Kodingareng dan Samalona, dia lah Mas Dedy. Mas Dedy ini juga asalnya dari Jawa, tepatnya dari Madiun. Dia yang paling sering ngebecandain saya dengan memasang wajah sok-sok jahat. Hobinya selfie menggunakan kamera hijau toscanya. Setiap ada acara di kantor, dia paling sering jadi penanggung jawab dokumentasi.

Panitia dokumentasi lain yang paling sering adalah Sabran, atau sering juga dipanggil Sabrina, saya sering juga manggil dia Brina. Anak ini asalnya dari Pangkep, lagi-lagi salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Dia yang paling muda di antara kami. Gayanya yang masih terlihat seperti anak-anak sering jadi bahan lawakan kami. Pertama kali lihat anak ini, saya kira dia orang Jawa, karena gestur dan cara berbicaranya berbeda dengan orang-orang Sulawesi lain yang saya kenal di kantor.

Selain Sabran, laki-laki lain yang ruangannya berada di lantai dua gedung kantor adalah Mas Farid. Dia bahkan satu ruangan denganku. Duduknya hampir persis berseberangan denganku. Mas Farid ini merupakan ketua geng kami karena dia yang paling senior di kantor, di antara kami para generasi 90-an. Aku sering meminta bantuannya untuk masalah-masalah kantor. Bahkan kadang masalah di luar kantor pun aku minta tolong ke Mas Farid. Laki-laki berkacamata asal Jogja ini kalau di rumahnya biasa dipanggil Mas Faid, hihi, lucu, ya.

Berbicara masalah nama panggilan atau nickname, ada satu laki-laki namanya Ramadhan, tapi kami semua lebih sering memanggilnya Dadan. Laki-laki betawi ini sebenarnya asalnya dari Padang, tapi sudah cukup lama tinggal di Jakarta. Logat betawinya bisa dibilang tidak ada sama sekali, hehe. Mas Dadan bekerja satu ruangan dengan Mas Fuad. Hobinya membanggakan mesin cucinya yang biasa dia tirukan dengan suara ‘tut tut tut’. Di antara kami semua, baru Mas Dadan yang punya mesin itu, itulah kenapa dia paling senang memamerkannya.

Masih ada satu lagi laki-laki generasi 90-an di lantai dua, dia adalah Mas Hendro, asalnya dari Tahuna. Katanya sih pulau paling utara di Indonesia, hampir dekat Filipina. Kalau kami-kami yang dari Jawa ini langsung menolak mentah-mentah jika ditawarkan pindah ke Tahuna, beda halnya dengan Mas Hendro, mungkin dia akan berada pada antrean paling depan jika ada job posting ke Tahuna. Dia hampir sama putihnya dengan Mas Fuad, rambutnya tajam-tajam menjuntai ke atas seperti landak. Kalau baru pertama kali ketemu pasti akan menyangka orangnya pendiam, padahal sih, hhhh...

Habis sudah para lelaki perantau kuperkenalkan, sekarang kembali ke para perempuannya. Ada satu lagi perempuan dari Makassar. Dia satu ruangan dengan Kak Ratih, bahkan satu kosan juga. Namanya Kak Widya. Dia orang pertama yang kuhubungi untuk mencari tahu transportasi apa yang harus kutumpangi dari Kantor Wilayah Makassar menuju kantor di Parepare. Paling susah diajak main sih katanya, haha. Walaupun badannya kecil, Kak Widya udah jago nyetir mobil. Dia pernah berani nyetir mobil dari Makassar ke Parepare.

The last... namanya Teh Dyah, kami tinggal satu kosan. Wanita sunda yang juga ikut-ikutan terdampar di sini ini sudah menikah, dan otomatis sekarang jauh-jauhan sama suaminya T.T. Paling sering digangguin sama bapak-bapak di kantor, bahkan sampai nangis, sungguh terlalu. Teteh suka bingits makanan pedas. Kami pernah masak-masak bareng di kosan, terus teteh bikin sambal uenak sekali...bikin kangen rumah dan seisinya. Kalau mau makan, pasti saling tanya:
“Mau makan apa?”
“Apa yah, Teteh mau makan apa?”
“Apa yah bingung...”
Ujung-ujungnya paling beli nasi goreng atau ayam penyet, menu yang paling sering jadi sasaran kalau sudah bingung mau nentuin makan apa. Awal-awal aku ngekos di sini, aku selalu nebeng sama si teteh untuk pergi ke kantor. Kalau udah jam pulang kami saling tunggu-tungguan, so sweet kaan, hahaha. Tapi sekarang udah engga, kasihan juga teteh kalau nungguin aku terus. Makanya kuputuskan untuk beli motor baru.

Eh, ngomong-ngomong soal motorku, seminggu yang lalu aku dapat pengalaman cukup mendebarkan, sampai mau nangis, udah sempat keluar air mata malah. Next post kalau ada kesempatan nulis akan kuceritakan, wkwk, bilang aja males. Penulis macam apa sih gue.

Baiklah, sekian tulisan kali ini. Itulah tadi teman-teman seperjuangan di kantorku di Parepare, teman-teman yang membantu mengubah duka jauh dari kampung halaman menjadi suka. May God always bless our relationship.