Tuesday, 26 December 2017

I know you might not like it

I was a fangirl of a boyband group. I loved them like I knew them. I talked about them to friends like we all knew each other. I had even been familiar with every member’s voice. I did make a fiction story about them, like I really knew their characters.

It was very long time ago. Now I don’t even care they plan a comeback concert in 2018, I didn’t, until a shocking news spreaded. One of the members committed suicide. I didn’t cry–my lil sis did, later she finally told me that she did cry, a bit though. I was just a bit surprised. He was the type of talkative member, lots of laughter, smile, joking around, yeah he was, like years ago when the last time I watched their shows. Knowing he committed suicide is like…really…?

Since yesterday I’d looked around youtube for their old videos. I know it’s silly, yet I can’t help it. My sis and I even chatted on Whatsapp–one of the longest convo ever–she still likes the group. We talked about them, I asked her not to cry cause suicide is unforgivable in our religion, so don’t cry for such a death. She knows it. She just told me that he was depressed. Okay, I feel sorry for it, I was asking where his friends, the other members. My sis said it seemed to be a depression after his solo concert this year. I even feel more sorry. Nobody ever wants to be lonely. I don’t know exactly what he was facing, but one I know that depression arises from loneliness.

I know you might not like what I’m doing. I just want to tell you the other side of mine that you might never know. Sometimes I do silly, unimportant, and unfaedah things.

Sunday, 17 December 2017

Diklat Prajabatan PLN Angkatan 49 (Part 2)

Part 1 tulisan ini sudah di-post lebih dari setahun yang lalu. Duh, betapa malasnya saya melanjutkan tulisan yang belum rampung ini. Semoga saya masih ingat.

3. Pengenalan perusahaan (Minggu terakhir November 2015/Minggu pertama Desember 2015)
Dari Lembang, kami dibawa ke Udiklat Bogor untuk selanjutnya mengikuti Pengenalan Perusahaan. Kami akan segera mendapat pembelajaran singkat mengenai proses bisnis PLN selama empat hari.

Sesampainya di Udiklat Bogor, kami disambut seorang komandan. Padahal, saya mengira setelah beres kesamaptaan, kami bisa lepas dari komandan TNI, ternyata tidak. Begitu turun dari bis, kami disuruh jalan jongkok sejauh kurang lebih 50 meter. Lutut kanan saya sudah kebas rasanya, jadilah saya curi-curi kesempatan untuk sedikit berlari dengan posisi normal saat komandan tidak memperhatikan.

Koper kami diturunkan dari mobil pengangkut khusus koper dan barang bawaan lainnya, cukup menyita waktu karena jumlah kami yang kala itu ada sekitar 400-an orang. Bawaan saya saat itu rada riweuh, 2 ransel, 1 koper, 1 ember beserta isinya, dan keresek hitam lumayan besar berisi baju kotor kalau saya tidak salah ingat. Padahal saat berangkat dari rumah menuju Lembang saya hanya membawa 1 ransel dan satu koper.

Udiklat Bogor ini legend sekali, guys. Selalu menjadi bahan pembicaraan mengenai jarak ruang makan yang cukup jauh dari mes. Jalan yang menanjak dan menurun menambah keseruan setiap kali bercerita perjuangan menuju ruang makan Udiklat Bogor. Selalu dibilang seperti ini, "Berangkat ke ruang makan lapar, sampai di mes sudah lapar lagi."

Di sana tiga atau empat malam kami menginap di Udiklat Bogor. Pagi-pagi sekali, sekitar jam 5, kami sudah harus naik bis untuk berangkat menuju PLN Pusat, tempat program Pengenalan Perusahaan dilaksanakan. Bahkan sarapan pun kami lakukan di dalam bis yang berjalan.

Di setiap sesi materi Pengenalan Perusahaan, kami diharuskan membuat rangkuman. Begitu terus kegiatan kami selama empat hari program ini dilaksanakan. Di sesi terakhir hari keempat, diumumkan pula bidang kami masing-masing. Saat itu aku masuk dalam bidang niaga dan akan melaksanakan pembidangan di Udiklat Pandaan.

4. Pembidangan (Desember 2015 - Januari 2016)
Inilah masa-masa penggemukan. Kami tidak banyak dituntut mengerjakan macam-macam. Hanya belajar, belajar, dan belajar. Makan terjamin lima kali sehari. Sarapan, snack pagi, makan siang, snack sore, dan makan malam. Olahraga setiap habis subuh dan sore hari, itu pun tidak terlalu berat bila dibandingkan saat kesamaptaan.

Selama kurang dari satu bulan kami, bidang niaga, melaksanakan pembidangan di SLB di daerah Malang, katanya karena Udiklat Pandaan-nya sedang penuh, makanya kami 'diungsikan' sementara ke SLB. Di sinilah untuk pertama kalinya saya berinteraksi langsung dengan banyak orang Sumatera, lengkap mulai dari Medan, Aceh, Pekanbaru, Padang, Lampung, hingga Palembang.

Sekitar akhir 2015 atau awal 2016, kami pindah ke Udiklat Pandaan. Bertambah lagi teman-teman yang kami kenal, karena di Udiklat Pandaan ini sudah menunggu rekan-rekan angkatan kami dari bidang distribusi.

Di akhir program pembidangan dilaksanakan ujian tertulis. Alhamdulillah angkatan kami dinyatakan lulus semua dan dapat lanjut ke tahap berikutnya. Yang paling ditunggu-tunggu dari setiap akhir program adalah, "Akan ke mana lagi kita sekarang?"

5. On The Job Training/OJT (Februari - April 2016)
Saya dan sekitar 50 orang lainnya dapat tempat OJT di Lombok, yeay. Luar biasa senangnya waktu itu. Sudah terbayang pantai-pantai yang asyik untuk disinggahi, kebetulan saya suka banget main air, padahal nggak bisa renang, huu

Bertambah kesenangan saya ketika penempatan OJT saya ternyata di kota Mataram, tepatnya di Rayon Ampenan. Saya menjalani OJT di sana bersama dengan 10 orang lainnya, 6 dari bidang distribusi, dan 4 dari bidang niaga. Kami mengontrak rumah tidak jauh dari Rayon Ampenan. Setiap pagi kami hanya perlu jalan kaki sekitar 10 menit paling lama untuk sampai di kantor.

Mataram itu tempatnya enak. Nggak adem, tapi nggak panas juga. Kotanya nggak terlalu ramai, jadi nggak macet. Tapi sudah ada mall di sana, ada bioskop juga. Mau ke pantai dekat, ada Senggigi, atau yang paling dekat, pantai Ampenan, haha. Mau cari makanan mudah dan masih terjangkau semua harganya.

Kerjaan kami tiap sabtu minggu pasti jalan-jalan. OJT jadi kayak On the Job Traveling. Cari persewaan motor atau mobil juga mudah. Nggak perlu pemandu juga karena sudah ada GPS. Tinggal modal berani saja, haha.

Pantai yang paling saya ingat itu Sekotong. Tenaang banget air lautnya, jadi lebih kayak kolam renang daripada pantai. Airnya jernih luar biasa, di tengah-tengahnya ada pulau, entah apa namanya. Pokoknya Sekotong masya Allah indahnya.

Kalau pantai yang paling sering dikunjungi itu Senggigi karena paling dekat. Di sana saya mencoba pengalaman surfing ala ala bocah, saya cuma tiduran saja di atas papan, itu pun sudah sulit sekali dan berkali-kali saya tercebur. Telapak kaki saya lecet-lecet parah karena banyak menginjak terumbu karang, baru ketahuan pas sampai di kontrakan.

Hari-hari OJT saya lebih disibukkan dengan survey TNP2K. Bersyukur banget ada survey ini, saya jadi tahu banyak seperti apa penduduk asli Lombok. Sebuah pengalaman yang berharga bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat asli sana.

Selain survey, pekerjaan yang menantiku adalah billing, di sini kami diajari bagaimana memproduksi jumlah kwh yang tercatat pada lembar tagihan pelanggan. Diajari tentang DLPD (Daftar Langganan Perlu Diperhatikan), ini yang jumlah kwhnya tidak rasional, dari DLPD ini bisa dibuat menjadi TO (Target Operasi) untuk P2TL (...apa yah kok saya lupa kepanjangannya 😅). Intinya P2TL ini aktivitas pemeriksaan kwh meter pelanggan yang diduga berbuat curang.

Ngomong-ngomong P2TL, selama OJT pulalah kami mendapat pengalaman deg-degannya berhadapan dengan pelanggan yang kena P2TL. Biasanya menurut cerita, ada saja pelanggan yang tidak terima dirinya di-P2TL, lalu mengancam petugas PLN dengan benda-benda tajam. Tapi alhamdulillah saya tidak bertemu pelanggan semacam itu. Paling tegang hanya adu argumen saja.

Di akhir masa OJT, kami diuji lagi dengan sidang PA (Project Assignment) dan STO (Science & Technology Olympiad) yang mana penyusunannya dilakukan selama OJT berlangsung. Jadi di tengah kesibukan survey TNP2K, billing, P2TL, dan traveling 😂, kami juga sibuk menyiapkan laporan PA dan STO ini. Selain sidang, diadakan pula ujian tulis secara online terkait bidang masing-masing, namanya SIUJO (err..saya juga lupa ini kepanjangannya apa 😅).

Ujian selesai, hasil sudah diumumkan, alhamdulillah saya lulus walaupun tidak berharap dapat nilai bagus karena saat sidang, kelompok saya sedikit mengalami kesulitan. Kini tinggal menunggu pengumuman penempatan.

Hari itu saya menangis terisak di telepon, berbicara dengan ibu, karena dapat penempatan nun jauh di Sulawesi, sebuah tanah yang sungguh asing bagi saya. Ada 13 orang yang berangkat ke Sulawesi dari Lombok, ke-13 orang ini tidak ada yang tersenyum ketika sesi foto bersama berdasarkan penempatan. Hahaha. Mana komitmenmu bersedia ditempatkan di mana saja, Nak?

Sekian perjalanan saya hingga akhirnya 'terdampar' di Parepare ini. Masih bersyukur karena di sini masih lumayan ramai--mungkin hampir mirip Mataram, hanya saja di sini kotanya lebih kecil, tidak ada mall, dan tidak ada bioskop!

Thursday, 9 November 2017

Bimbang


Meja kerja tak berbentuk, ruangan dingin penuh hawa AC 20 derajat celcius

Sumpah, gue emang kangen banget sama bocah ini.

Julia memandangi selembar foto yang menempel di balik kaca meja kerjanya. Lima sahabat semasa SMA yang tidak akan pernah dilupakan Julia. Kelimanya duduk lesehan di sebuah cafe, Julia yang memang paling centil, yang mengambil foto selfie. Hilarious. Tempat tak terlupakan.
 
Apa dia masih sebocah waktu dulu?

Atau sudah berubah lebih dewasa?

Ah iya, seharian belum sempat cek email gara-gara rekonsiliasi foto-foto aktiva yang bikin mata juling.

Halaman muka email memenuhi seluruh layar laptopnya. Di paling atas kotak masuk, ada sebuah nama pengirim yang sangat dinanti-nantikan Julia.

Sidharta.

Julia deg-degan.

Sekilas awalnya matanya menguarkan kesal dan sesal telah mengirim email itu. Sid memang selalu menyebalkan.

Namun bagian NB selalu berhasil membalikkan suasana.

Pipi Julia memerah. Ingin segera ia balas email itu. Sedetik kemudian ia ragu.

Wednesday, 8 November 2017

Kawan Lama



Di salah satu mobil yang mengular, kegelisahan karena lapar yang menguji kesabaran

Pemuda berkaus polo lengan pendek memaki padatnya jalanan di depannya. Hampir satu jam mobilnya tak beranjak ke manapun, sedikitpun. Ditambah lagi kegelisahan karena lapar yang melanda, perutnya seakan tidak mau berkompromi lagi karena sejak siang majikannya tidak menyuplainya makanan sesendokpun. Andai saja ada tukang asongan menjajakan cemilan. Sialnya ini jalan tol yang kiri kanannya bukit beton.

Sidharta menyandarkan kepalanya yang mulai pening, antara karena kemacetan dan kelaparan.

Kalo macet kayak gini terus, main hape sampe rabun juga bisa. Bersihin notif ah. Eh tunggu dulu, kali aja ada yang penting.

10 Unread Mails.

Dropbox.

lina@jobstreet.com.

Kenapa lo malas banget unsubscribe email ini, sih, Sid!

Change.org.

Mandiri Online.

Julia.

Sid terlonjak dari dudukannya, hampir saja ia meninju klakson di depannya.

“Julia?” gumam Sid pelan. Julia yang itu?

Tidak sabar ia membuka email yang mengejutkan itu. Walaupun sudah sekian tahun tidak saling mengabari, dengan tega ia mengutuki subjek pesan dari Julia.

Apaan dah ni anak bikin subjek alay banget. 

Kedua ujung bibirnya tidak mampu menahan senyum lebar. Matanya berbinar-binar. Meski sudah selesai ia baca sampai habis seluruh isi pesan itu, ia kembali membacanya ulang dari atas, seolah ingin memastikan kalimat barusan yang dibacanya itu bukan halusinasi akibat penat kemacetan dan rasa lapar yang tidak tertahankan.

Jules... ngapain gue harus pura-pura, sih.

Seulas senyum jahil dan sorot mata licik tiba-tiba mengembang di wajahnya.

Kepada: Julia


Apa kabar?
Lama ga ketemu, tinggal di mana sekarang?
Sibuk apa lo sekarang?

Jules, Jules... instead of saying those greetings, elo malah nge-email ga jelas gitu ke gue.

From Sidharta yang ga kenal Julia,
Sidharta Gautama


NB: minta nomor lo!

Sebuah Permulaan




Rabu sore yang cerah dan dingin setelah diguyur hujan, meja kerja Julia

Julia termenung di depan laptop sambil menggerakkan naik-turun kedua jari telunjuknya di atas keyboard. Sudah tiga hari sebuah draf email tak kunjung dikirimnya.

Gila aja gue ngirim ginian ke Sid, bisa ke-GR-an tu anak.

Tapi gue penasaran sama kabar mereka di sana.

Anak-anak itu, penyelamat masa remaja gue.

Julia bangkit dari kursinya. Mengambil gelas di atas meja kecil di seberang meja kerjanya, yang memang dikhususkan untuk tempat makanan dan minuman. Ia kembali ke kursinya lalu menyeruput teh manis yang sudah dingin.

Diliriknya kembali isi draf email itu.

Kepada: Sidharta
Subjek: Sid, gue kangen!

Sid!
Serius lo ga kangen sama gue?
Sid!
Iya, gue yang kangen banget sama lo.
Sid!
Gue harap bisa segera bertemu lo.
Sid???!!!
Balas email ini, ASAP!
Kalo engga, kalo engga...
Kalo engga, gue bakal spam kangen terus ke inbox lo.


From Julia with love,
Rahasia

NB: ga usah pura-pura ga kenal, apa lagi ga kangen sama gue

Big no! Elo ga boleh ngirim ini ke Sid, Jules.

Julia berniat menutup halaman email itu. Niat yang tidak didukung dengan gerak jemari yang lebih mengikuti hati kecil. Telunjuknya malah menekan mouse  tepat pada saat pointer menunjuk tombol ‘Kirim’.

Bego.

Tolol.

Mati, lo, Jules.

Siap-siap dikutuk habis-habisan sama tu bocah.

Wednesday, 2 August 2017

Senda Gurau Sales Kartu Kredit BNI

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah kesempatan sharing session harian di kantor, saya dan rekan-rekan kerja ditawari kartu kredit korporat dari BNI. Kartu kredit korporat ini artinya khusus digunakan untuk kepentingan dinas kantor, dan yang berurusan adalah pihak BNI langsung kepada instansi kantor saya. Di kartu kredit korporat juga DIJANJIKAN AKAN ADA LAMBANG INSTANSI kantor saya, yang menandakan bahwa itu adalah kartu kredit korporat.

Si sales sangat semangat (baca: cenderung memaksa) menawari kami untuk mendaftar layanan kartu kredit ini. Akhirnya karena saya malas melayani dia yang terus-terusan menawarkan kartu, saya daftar, dengan pertimbangan katanya: TIDAK ADA BIAYA yang ditanggung oleh pegawai SELAMA KARTU TERSEBUT TIDAK DIGUNAKAN. Baiklah, mending saya daftar saja dan menyuruh pulang para sales kartu kredit yang berisik ini.

Selang berapa lama setelah itu, saya ditelepon oleh CS (Customer Service) BNI, mengonfirmasi data pribadi saya terkait pendaftaran kartu kredit. Sekali lagi saya memastikan kepada pihak BNI tersebut, apakah BENAR-BENAR TIDAK ADA BIAYA JIKA KARTU KREDIT TIDAK DIGUNAKAN. Dan CS itu menjawab, IYA, TIDAK ADA BIAYA JIKA KARTU KREDIT TIDAK DIGUNAKAN. Saya pastikan itu berkali-kali, dan dijawab pula berkali-kali oleh CS itu bahwa tidak ada biaya. Baiklah, saya iyakan saja, biar cepat selesai urusan ini.

Tidak lama, sampailah kartu kredit itu ke kantor saya. Dusta si sales yang pertama: TIDAK ADA LAMBANG INSTANSI yang dijanjikan, sebagai tanda bahwa itu adalah kartu kredit korporat. Melihat itu, saya ragu untuk mengaktifkannya. Akhirnya kartu kredit tersebut TIDAK PERNAH SAYA AKTIFKAN. Berkali-kali pihak BNI menelepon saya untuk katanya mau membantu mengaktifkan. Tapi selalu gagal, karena saya selalu lupa membawa kartu tersebut. Saya kira tidak akan ada masalah karena selama saya tidak mengaktifkan dan menggunakan kartu tersebut, saya tidak akan dapat tagihan apapun dari BNI.

Kenyataannya berbeda, hari ini, 02 Agustus 2017, saya mendapat Lembar Penagihan Kartu Kredit BNI. Di sana tertera ADA BIAYA YANG HARUS DILUNASI, nominalnya Rp 240.000. Dusta yang kedua dari sales kartu kredit BNI dan CS yang melayani saya tempo lalu.

Pesan dari tulisan ini, jangan 100% percaya kepada sales kartu kredit, karena mungkin saja mereka ditarget untuk mendapatkan jumlah pelanggan sesuai yang ditentukan atasannya, sehingga digunakanlah kalimat manis apapun untuk membujuk calon pelanggan, termasuk berdusta tentang biaya 0%. Perbankan dan orang-orangnya memang pintar bersenda gurau (baca: berdusta).

Friday, 14 April 2017

Sabtu ke Sekian

Sumber: Google

Ada banyak tulisan lama di laptop. Yang satu ini sudah cukup lama terpendam di dasar folder paling dalam. Lumayan sudah berdebu, namun masih bisa disingkirkan butiran-butirannya, haha apa sih. Beberapa dari nama-nama di bawah ini sudah dimutasi dari kota Parepare :')

Parepare, 27 Agustus 2016

Hari ini, Sabtu, yang ke sekian kalinya aku berada di kota kecil pinggir pantai ini, Parepare. Sebuah kota yang samasekali tidak pernah ada di benakku untuk kutinggali. Parepare, sebuah kota kecil dengan keramaian yang cukup ramai bahkan ketika sudah larut malam. Ya, aku beberapa kali pulang larut malam, makanya aku tahu keadaan kota ini di waktu-waktu pukul 11 – 12 malam.

Jauh dari orang tua menjadikanku anak nakal yang suka keluar malam? Tidak, bukan begitu. Aku tidak suka keluar malam, hanya saja, kami tidak punya waktu lain untuk mengobrol santai bersama kecuali malam hari. Oh, bukan juga, sih, alasan. Hanya saja mengobrol di malam hari lebih terasa nyaman karena benar-benar tidak ada aktivitas lain yang menunggu kami. Di pagi atau siang hari, pasti ada saja yang harus dilakukan. Entah itu mencuci pakaian, membersihkan rumah, atau mungkin hanya sekadar santai sejenak di atas kasur. Itulah mengapa kami lebih sering meluangkan waktu mengobrol di malam hari. Oke, mungkin aku sedang mencari pembenaran, yang artinya aku tahu ini tidak benar.

Sejak tadi aku menyebut kami. Mari kuperkenalkan siapa saja 'kami'.

Yang pertama adalah seorang pribumi Sulawesi, tepatnya Takalar, dia adalah Kak Ratih, yang beruntung mendapat penempatan kerja di tempat ia bisa kembali meneruskan kuliahnya di Makassar, yang sempat tertunda karena ia harus menjalani pendidikan prajabatan. Perempuan yang satu ini hobi olahraga. Dalam seminggu pasti ia meluangkan waktunya untuk aktivitas itu, entah itu main bulu tangkis di lapangan di kantor atau sekadar mengitari lapangan Andi Makkasau.

Ada lagi perempuan asli Parepare, namanya Hajar, yang rumahnya terletak tidak sampai satu kilometer dari kantor. What the... beruntung sekali dia. Si perempuan ini semacam partner in crime-nya Kak Ratih. Mereka sama-sama boyish. Tapi si perempuan Pare ini boyish-nya boyish-boyish manja. Suasana ngumpul selalu ramai kalau sama dia. Ada saja komentar konyolnya yang disambut gelak tawa dari kami semua.

Sudah dua perempuan, sekarang kita beralih ke laki-laki, aku sering panggil dia Mas Firman. Laki-laki ini sekampung dengan Kak Ratih, di Takalar. Dia juga satu kampus dengan dengan Hajar, tapi beda angkatan, dia lebih senior. Laki-laki berbehel ini sedang melanjutkan studi D4 di Makassar. Alhasil, setiap Sabtu dan Minggu kau tidak akan mendapatinya tinggal di Parepare karena di hari-hari itu dia harus masuk kuliah. (Omaygad, sabtu minggu aja masih harus belajar)

Bersama dengan Mas Firman, ada dua orang laki-laki lagi yang sedang melanjutkan studi. Mereka adalah Mas Fuad dan Mas Dedy. Mereka tinggal satu kosan di salah satu gang di jalan H. Agus Salim, jalan ini bersebelahan dengan jalan Bau Massepe yang berisi berbagai macam toko dan rumah makan. Di jalan ini pula aku pertama kali makan siang di Parepare. Fokus, Da, fokus. Lu tadi lagi ngomongin Mas Fuad dan Mas Dedy. Baiklah, kembali kepada mereka. Yang pertama ada Mas Fuad. Mas Fuad ini asalnya dari Jepara, kota pinggir pantai di pulau Jawa sana. Tapi menurutku, itu bohong. Mana ada anak pantai kulitnya terang melebihi kami para perempuan. Huft.

Bicara soal warna kulit, ada yang kemarin ngeluh kulitnya menghitam gara-gara terlalu lama mantai (read: main dipantai, akronim macam apa ini) di Kodingareng dan Samalona, dia lah Mas Dedy. Mas Dedy ini juga asalnya dari Jawa, tepatnya dari Madiun. Dia yang paling sering ngebecandain saya dengan memasang wajah sok-sok jahat. Hobinya selfie menggunakan kamera hijau toscanya. Setiap ada acara di kantor, dia paling sering jadi penanggung jawab dokumentasi.

Panitia dokumentasi lain yang paling sering adalah Sabran, atau sering juga dipanggil Sabrina, saya sering juga manggil dia Brina. Anak ini asalnya dari Pangkep, lagi-lagi salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Dia yang paling muda di antara kami. Gayanya yang masih terlihat seperti anak-anak sering jadi bahan lawakan kami. Pertama kali lihat anak ini, saya kira dia orang Jawa, karena gestur dan cara berbicaranya berbeda dengan orang-orang Sulawesi lain yang saya kenal di kantor.

Selain Sabran, laki-laki lain yang ruangannya berada di lantai dua gedung kantor adalah Mas Farid. Dia bahkan satu ruangan denganku. Duduknya hampir persis berseberangan denganku. Mas Farid ini merupakan ketua geng kami karena dia yang paling senior di kantor, di antara kami para generasi 90-an. Aku sering meminta bantuannya untuk masalah-masalah kantor. Bahkan kadang masalah di luar kantor pun aku minta tolong ke Mas Farid. Laki-laki berkacamata asal Jogja ini kalau di rumahnya biasa dipanggil Mas Faid, hihi, lucu, ya.

Berbicara masalah nama panggilan atau nickname, ada satu laki-laki namanya Ramadhan, tapi kami semua lebih sering memanggilnya Dadan. Laki-laki betawi ini sebenarnya asalnya dari Padang, tapi sudah cukup lama tinggal di Jakarta. Logat betawinya bisa dibilang tidak ada sama sekali, hehe. Mas Dadan bekerja satu ruangan dengan Mas Fuad. Hobinya membanggakan mesin cucinya yang biasa dia tirukan dengan suara ‘tut tut tut’. Di antara kami semua, baru Mas Dadan yang punya mesin itu, itulah kenapa dia paling senang memamerkannya.

Masih ada satu lagi laki-laki generasi 90-an di lantai dua, dia adalah Mas Hendro, asalnya dari Tahuna. Katanya sih pulau paling utara di Indonesia, hampir dekat Filipina. Kalau kami-kami yang dari Jawa ini langsung menolak mentah-mentah jika ditawarkan pindah ke Tahuna, beda halnya dengan Mas Hendro, mungkin dia akan berada pada antrean paling depan jika ada job posting ke Tahuna. Dia hampir sama putihnya dengan Mas Fuad, rambutnya tajam-tajam menjuntai ke atas seperti landak. Kalau baru pertama kali ketemu pasti akan menyangka orangnya pendiam, padahal sih, hhhh...

Habis sudah para lelaki perantau kuperkenalkan, sekarang kembali ke para perempuannya. Ada satu lagi perempuan dari Makassar. Dia satu ruangan dengan Kak Ratih, bahkan satu kosan juga. Namanya Kak Widya. Dia orang pertama yang kuhubungi untuk mencari tahu transportasi apa yang harus kutumpangi dari Kantor Wilayah Makassar menuju kantor di Parepare. Paling susah diajak main sih katanya, haha. Walaupun badannya kecil, Kak Widya udah jago nyetir mobil. Dia pernah berani nyetir mobil dari Makassar ke Parepare.

The last... namanya Teh Dyah, kami tinggal satu kosan. Wanita sunda yang juga ikut-ikutan terdampar di sini ini sudah menikah, dan otomatis sekarang jauh-jauhan sama suaminya T.T. Paling sering digangguin sama bapak-bapak di kantor, bahkan sampai nangis, sungguh terlalu. Teteh suka bingits makanan pedas. Kami pernah masak-masak bareng di kosan, terus teteh bikin sambal uenak sekali...bikin kangen rumah dan seisinya. Kalau mau makan, pasti saling tanya:
“Mau makan apa?”
“Apa yah, Teteh mau makan apa?”
“Apa yah bingung...”
Ujung-ujungnya paling beli nasi goreng atau ayam penyet, menu yang paling sering jadi sasaran kalau sudah bingung mau nentuin makan apa. Awal-awal aku ngekos di sini, aku selalu nebeng sama si teteh untuk pergi ke kantor. Kalau udah jam pulang kami saling tunggu-tungguan, so sweet kaan, hahaha. Tapi sekarang udah engga, kasihan juga teteh kalau nungguin aku terus. Makanya kuputuskan untuk beli motor baru.

Eh, ngomong-ngomong soal motorku, seminggu yang lalu aku dapat pengalaman cukup mendebarkan, sampai mau nangis, udah sempat keluar air mata malah. Next post kalau ada kesempatan nulis akan kuceritakan, wkwk, bilang aja males. Penulis macam apa sih gue.

Baiklah, sekian tulisan kali ini. Itulah tadi teman-teman seperjuangan di kantorku di Parepare, teman-teman yang membantu mengubah duka jauh dari kampung halaman menjadi suka. May God always bless our relationship.