Sumber: Google
Ada banyak tulisan lama di laptop. Yang satu ini sudah cukup lama terpendam di dasar folder paling dalam. Lumayan sudah berdebu, namun masih bisa disingkirkan butiran-butirannya, haha apa sih. Beberapa dari nama-nama di bawah ini sudah dimutasi dari kota Parepare :')
Parepare, 27 Agustus 2016
Hari ini, Sabtu, yang ke sekian kalinya aku berada di kota
kecil pinggir pantai ini, Parepare. Sebuah kota yang samasekali tidak pernah
ada di benakku untuk kutinggali. Parepare, sebuah kota kecil dengan keramaian
yang cukup ramai bahkan ketika sudah larut malam. Ya, aku beberapa kali pulang
larut malam, makanya aku tahu keadaan kota ini di waktu-waktu pukul 11 – 12
malam.
Jauh dari orang tua menjadikanku anak nakal yang suka keluar
malam? Tidak, bukan begitu. Aku tidak suka keluar malam, hanya saja, kami tidak
punya waktu lain untuk mengobrol santai bersama kecuali malam hari. Oh, bukan
juga, sih, alasan. Hanya saja mengobrol di malam hari lebih terasa nyaman karena
benar-benar tidak ada aktivitas lain yang menunggu kami. Di pagi atau siang
hari, pasti ada saja yang harus dilakukan. Entah itu mencuci pakaian,
membersihkan rumah, atau mungkin hanya sekadar santai sejenak di atas kasur.
Itulah mengapa kami lebih sering meluangkan waktu mengobrol di malam hari. Oke, mungkin aku sedang mencari pembenaran, yang artinya aku tahu ini tidak benar.
Sejak tadi aku menyebut kami. Mari kuperkenalkan siapa saja 'kami'.
Yang pertama adalah seorang pribumi Sulawesi, tepatnya
Takalar, dia adalah Kak Ratih, yang beruntung mendapat penempatan kerja di
tempat ia bisa kembali meneruskan kuliahnya di Makassar, yang sempat tertunda karena ia harus
menjalani pendidikan prajabatan. Perempuan yang satu ini hobi olahraga.
Dalam seminggu pasti ia meluangkan waktunya untuk aktivitas itu, entah itu main
bulu tangkis di lapangan di kantor atau sekadar mengitari lapangan Andi Makkasau.
Ada lagi perempuan asli Parepare, namanya Hajar, yang rumahnya
terletak tidak sampai satu kilometer dari kantor. What the... beruntung sekali
dia. Si perempuan ini semacam partner in crime-nya Kak Ratih. Mereka sama-sama
boyish. Tapi si perempuan Pare ini boyish-nya boyish-boyish manja. Suasana ngumpul
selalu ramai kalau sama dia. Ada saja komentar konyolnya yang disambut gelak
tawa dari kami semua.
Sudah dua perempuan, sekarang kita beralih ke laki-laki, aku sering
panggil dia Mas Firman. Laki-laki ini sekampung dengan Kak Ratih, di Takalar. Dia
juga satu kampus dengan dengan Hajar, tapi beda angkatan, dia lebih senior.
Laki-laki berbehel ini sedang melanjutkan studi D4 di
Makassar. Alhasil, setiap Sabtu dan Minggu kau tidak akan mendapatinya tinggal
di Parepare karena di hari-hari itu dia harus masuk kuliah. (Omaygad, sabtu
minggu aja masih harus belajar)
Bersama dengan Mas Firman, ada dua orang laki-laki lagi yang
sedang melanjutkan studi. Mereka adalah Mas Fuad dan Mas Dedy. Mereka tinggal
satu kosan di salah satu gang di jalan H. Agus Salim, jalan ini bersebelahan
dengan jalan Bau Massepe yang berisi berbagai macam toko dan rumah makan. Di
jalan ini pula aku pertama kali makan siang di Parepare. Fokus, Da, fokus. Lu
tadi lagi ngomongin Mas Fuad dan Mas Dedy. Baiklah, kembali kepada mereka. Yang pertama ada Mas Fuad. Mas Fuad
ini asalnya dari Jepara, kota pinggir pantai di pulau Jawa sana. Tapi
menurutku, itu bohong. Mana ada anak pantai kulitnya terang melebihi kami para perempuan. Huft.
Bicara soal warna kulit, ada yang kemarin ngeluh kulitnya
menghitam gara-gara terlalu lama mantai (read: main dipantai, akronim macam apa ini) di Kodingareng dan Samalona, dia lah
Mas Dedy. Mas Dedy ini juga asalnya dari Jawa, tepatnya dari Madiun. Dia yang
paling sering ngebecandain saya dengan memasang wajah sok-sok jahat. Hobinya
selfie menggunakan kamera hijau toscanya. Setiap ada acara di kantor, dia
paling sering jadi penanggung jawab dokumentasi.
Panitia dokumentasi lain yang paling sering adalah Sabran,
atau sering juga dipanggil Sabrina, saya sering juga manggil dia Brina. Anak
ini asalnya dari Pangkep, lagi-lagi salah satu daerah di Sulawesi Selatan. Dia
yang paling muda di antara kami. Gayanya yang masih terlihat seperti anak-anak
sering jadi bahan lawakan kami. Pertama kali lihat anak ini, saya kira dia
orang Jawa, karena gestur dan cara berbicaranya berbeda dengan orang-orang
Sulawesi lain yang saya kenal di kantor.
Selain Sabran, laki-laki lain yang ruangannya berada di lantai
dua gedung kantor adalah Mas Farid. Dia bahkan satu ruangan denganku. Duduknya
hampir persis berseberangan denganku. Mas Farid ini merupakan ketua geng kami
karena dia yang paling senior di kantor, di antara kami para generasi 90-an.
Aku sering meminta bantuannya untuk masalah-masalah kantor. Bahkan kadang
masalah di luar kantor pun aku minta tolong ke Mas Farid. Laki-laki berkacamata
asal Jogja ini kalau di rumahnya biasa dipanggil Mas Faid, hihi, lucu, ya.
Berbicara masalah nama panggilan atau nickname, ada satu
laki-laki namanya Ramadhan, tapi kami semua lebih sering memanggilnya Dadan. Laki-laki betawi ini sebenarnya asalnya dari
Padang, tapi sudah cukup lama tinggal di Jakarta. Logat betawinya bisa dibilang
tidak ada sama sekali, hehe. Mas Dadan bekerja satu ruangan dengan Mas Fuad.
Hobinya membanggakan mesin cucinya yang biasa dia tirukan dengan suara ‘tut tut
tut’. Di antara kami semua, baru Mas Dadan yang punya mesin itu, itulah kenapa
dia paling senang memamerkannya.
Masih ada satu lagi laki-laki generasi 90-an di lantai dua, dia
adalah Mas Hendro, asalnya dari Tahuna. Katanya sih pulau paling utara di
Indonesia, hampir dekat Filipina. Kalau kami-kami yang dari Jawa ini langsung
menolak mentah-mentah jika ditawarkan pindah ke Tahuna, beda halnya dengan Mas
Hendro, mungkin dia akan berada pada antrean paling depan jika ada job posting
ke Tahuna. Dia hampir sama putihnya dengan Mas Fuad, rambutnya tajam-tajam menjuntai
ke atas seperti landak. Kalau baru pertama kali ketemu pasti akan menyangka orangnya pendiam, padahal sih, hhhh...
Habis sudah para lelaki perantau kuperkenalkan, sekarang
kembali ke para perempuannya. Ada satu lagi perempuan dari Makassar. Dia satu ruangan
dengan Kak Ratih, bahkan satu kosan juga. Namanya Kak Widya. Dia orang pertama
yang kuhubungi untuk mencari tahu transportasi apa yang harus kutumpangi dari
Kantor Wilayah Makassar menuju kantor di Parepare. Paling susah diajak main sih katanya, haha. Walaupun badannya kecil, Kak Widya udah jago nyetir mobil. Dia pernah berani nyetir mobil dari Makassar ke Parepare.
The last... namanya Teh Dyah, kami tinggal satu kosan. Wanita sunda yang juga ikut-ikutan terdampar di sini ini sudah menikah, dan otomatis
sekarang jauh-jauhan sama suaminya T.T. Paling sering digangguin sama
bapak-bapak di kantor, bahkan sampai nangis, sungguh terlalu. Teteh suka
bingits makanan pedas. Kami pernah masak-masak bareng di kosan, terus teteh bikin
sambal uenak sekali...bikin kangen rumah dan seisinya. Kalau mau makan, pasti
saling tanya:
“Mau makan apa?”
“Apa yah, Teteh mau makan apa?”
“Apa yah bingung...”
Ujung-ujungnya paling beli nasi goreng atau ayam penyet,
menu yang paling sering jadi sasaran kalau sudah bingung mau nentuin makan apa.
Awal-awal aku ngekos di sini, aku selalu nebeng sama si teteh untuk pergi ke
kantor. Kalau udah jam pulang kami saling tunggu-tungguan, so sweet kaan,
hahaha. Tapi sekarang udah engga, kasihan juga teteh kalau nungguin aku terus. Makanya
kuputuskan untuk beli motor baru.
Eh, ngomong-ngomong soal motorku, seminggu yang lalu aku
dapat pengalaman cukup mendebarkan, sampai mau nangis, udah sempat keluar air
mata malah. Next post kalau ada kesempatan nulis akan kuceritakan, wkwk, bilang
aja males. Penulis macam apa sih gue.
Baiklah, sekian tulisan kali ini. Itulah tadi teman-teman
seperjuangan di kantorku di Parepare, teman-teman yang membantu mengubah duka
jauh dari kampung halaman menjadi suka. May God always bless our relationship.